“Perubahan atau Mati!!”. Itulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut mahasiswa sejak dulu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kata-kata itu terkikis oleh waktu. Hilang ditelan bumi. Lihat saja, deretan peristiwa yang terlewatkan oleh mahasiswa. Mahasiswa hanya sibuk bermain akrobat dengan para pejabat. Sebagian mahasiswa bersikap apatis dengan peristiwa tersebut. Sebagiannya lagi sibuk mengurus “simbol-simbol” yang mematikan itu. Sementara segelintirnya lagi, memandang bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan peluang sekaligus senjata bagi mereka. Senjata untuk menghantam para pejabat.
“Simbol-simbol” itu suatu kebanggaan bagi mereka (mahasiswa atau aktivis), karena tidak semua mahasiswa yang bisa menggunakannya. “Simbol-simbol” itu akan menjadi kenangan sekaligus menjadi kebanggaan dikemudian hari. Sibuk mengurus “simbol-simbol” tersebut membuat mahasiswa melupakan peristiwa-peristiwa yang seharusnya dikerjakan oleh para mahasiswa (aktivis) dan bahkan melumpuhkan daya kritis mereka. Hal tersebut, merupakan aral yang mengotori pikiran mahasiswa, dan ini harus diselesaikan, mengingat tugas mulia yang diemban oleh mahasiswa.
Bangunan persepsi tentang kesempurnaan dan kelebihan intelektual mahasiswa yang ia miliki, kini terkikis oleh “simbol-simbol” yang berjejer dibaju mereka. Dengan kata lain, mahasiswa hanya bangga dengan berjejernya “simbol-simbol” yang ada dilengan baju daripada mengisi otaknya dengan berdiskusi, membaca buku (baca; kondisi mahasiswa); hanya untuk berobsesi gila bernama “simbol”. Meskipun “simbo-simbol” yang berderat dilengan baju itu belum tentu dipahami secara keseluruhannya. Aktivis yang gila bernama “simbol” itu, cocok diberi label dengan aktivis ber”simbol”.
Dalam teori simiotika, setiap “simbol” itu mempunyai makna dan harus dipahami secara keseluruhan/utuh, walaupun sistem pemaknaan itu bersifat arbitrer atau sewena-wena. Dalam sistem pemaknaan, serangkaian tanda/simbol dianalisis dari bagian-bagian konstituennya; penanda dan petanda. Kedua hal itu harus diperhatikan bagi setiap pengguna simbol/tanda. Sistem penanda adalah bentuk atau media tanda/simbol, misalnya suara, citra tanda yang membentuk suatu kata dalam halaman, sementara petanda adalah dipahami dalam konsep dan makna, (Barker; 2005). Nah, sistem yang ke dua ini kemungkinan besar tidak dipahami oleh sebagian mahasiswa atau aktivis yang menggunakannya.
Dalam rentetan sejarah, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor yang terus berjuang dalam setiap perubahan yang terjadi di negeri ini. Gerakan mahasiswa selalu berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan pribadi dan menambah “simbol”. Tahun 1998 misalnya, mereka mampu menumbangkan rezim orde baru yang sedang berkuasa, walaupun sebagian aktivis 1998 memanfaatkan peristiwa itu, akan tetap tujuan mereka berhasil.
Paradigma yang agak sedikit bergeser ini akan sedikit mempengaruhi opini publik. Penilaian publik tentang mahasiswa pelan-pelan terkikis. Padahal publik menaruh harapan besar kepada mahasiswa untuk merubah suatu kondisi. Namun menjadi pertanyaannya, jika mahasiswa (aktivis) terobsesi gila pada simbol maka perubahan apa yang bisa diharapkan?. Publik semakin pesimis dengan gerakan mahasiswa yang asik bermain akrobat dengan pejabat. Dan belum lagi dengan obsesi “gila” simbol. (Wallahu A'lam Bishawab).
Sumber: Hamjah Diha